Bandung - Penanganan kejahatan transnasional membutuhkan koordinasi yang erat antara seluruh kementerian dan lembaga yang berwenang. Hal itu menjadi salah satu poin yang ditekankan Deputi II Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Duta Besar Rina P Soemarno.
Dubes Rina P Soemarno mengatakan hal itu saat membuka Rapat Koordinasi Kick Off Penyusunan Tanggapan Mekanisme Reviu Indonesia pada Konvensi UNTOC di Bandung, Jumat (2/2/2024). “Rakor ini merupakan bagian penting bagi pemerintah Indonesia dalam upaya memenuhi kewajiban internasional di bidang penanggulangan kejahatan lintas negara,” kata Deputi II.
UNTOC (The United Nations Convention against Transnational Organized Crime) merupakan instrumen internasional yang utama dalam upaya melawan kejahatan terorganisir transnasional. Beberapa contohnya adalah kasus perdagangan orang, narkotika, dan pencucian uang.
“Konvensi UNTOC sendiri memiliki tiga protokol pelengkap, atau sering disebut Protokol Palermo,” kata Rina.
Saat ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNTOC dengan lahirnya UU nomor 5 Tahun 2009. Sementara dari tiga protokol UNTAC, dua protokol di antaranya sudah diratifikasi Indonesia. Kedua protokol itu adalah Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children yang diratifikasi melalui UU nomor 5 Tahun 2009, dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air melalui UU nomor 15 Tahun 2009.
“Sebagai konsekuensi meratifikasi Konvensi dan Protokol UNTOC, Indonesia diharapkan dapat melaksanakan berbagai ketentuan yang ada di dalam Konvensi dan Protokol tersebut. Saat ini Indonesia menjadi negara under review dan diharapkan memberikan tanggapan atas Self-Assessment Questionnaires dari UNTOC,” kata Deputi II.
Sementara tujuan dari mekanisme reviu ini, kata Rina, antara lain memperoleh informasi tentang upaya implementasi konvensi oleh Negara Pihak, seperti program, kebijakan, serta langkah-langkah legislatif dan administratif maupun tantangan yang dihadapi.
“Saya yakin melalui Rapat Koordinasi Kick Off kali ini akan memberikan informasi yang sangat berharga bagi kita semua, dan para pemangku kepentingan lain dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai kewajiban Indonesia sebagai negara under review. Selain itu, yang paling penting Rakor kali ini merupakan kesempatan kita untuk menyusun secara bersama dan komprehensif, sehingga tanggapan SAQ dapat disampaikan ke PBB tepat waktu,” kata Rina.
Kemenko Polhukam telah mengindentifikasi sejumlah tantangan yang selama ini dihadapi dalam menyiapkan berbagai laporan implementasi atau tanggapan atas pertanyaan yang disampaikan PBB kepada Indonesia, antara lain: pengumpulan bahan yang datanya terkumpul di banyak K/L; bergantinya para pejabat dan berubahnya struktur K/L yang menyulitkan melakukan koordinasi; luasnya bidang laporan dan menyangkut banyak aspek; dan adanya sensitivitas data yang merupakan bagian proses hukum.
“Untuk itu, kita semua sepakat bahwa dibutuhkan koordinasi yang erat antar K/L dan pemangku kepentingan lain dalam menyiapkan tanggapan mekanisme reviu Indonesia yang reflektif, komprehensif, serta memiliki data yang valid, sehingga dapat memenuhi standar dan selaras dengan Kovensi UNTOC. Untuk itu, Saya mengharapkan dukungan, kerja sama dan komitmen dari K/L dan pemangku kepentingan terkait dalam proses penyusunan tanggapan Indonesia atas SAQ dimaksud, sehingga kita dapat menyampaikannya ke UNTOC secara tepat waktu,” kata Deputi II.
HUMAS KEMENKO POLHUKAM RI